Saturday, January 23, 2010

INFO : Sejarah Orang Tamil di Sumatera Utara.

KOMUNITAS TAMIL DALAM KEMAJEMUKAN MASYARAKAT

DI SUMATERA UTARA[1]

Zulkifli B. Lubis[2]

Pengantar

Komunitas India Tamil telah hadir dan menjadi bagian yang signifikan dalam perkembangan kebudayaan di Nusantara sejak beberapa abad yang lalu, terutama di sebagian masyarakat yang ada di Pulau Sumatera. Interaksi mereka yang sudah panjang dalam bilangan sejarah dengan komunitas lokal di Nusantara, sudah barang tentu, menjadikan pembahasan tentang komunitas ini bisa dibuat dari beragam aspek, lokus, perspektif dan kurun waktu. Pengenalan saya tentang komunitas Tamil dan kebudayaan mereka, harus saya akui, masih sangat dangkal sehingga bahan yang disampaikan di sini boleh jadi baru mengulas selembar kulit ari dari lapis-lapis kebudayaan mereka yang sangat kompleks. Saya baru mulai menaruh perhatian dan mencoba mengumpulkan bahan-bahan informasi tentang komunitas Tamil dan kebudayaannya ketika saya menulis sebuah makalah tentang adaptasi dan jaringan sosial komunitas Tamil dan Punjabi di Medan, yang saya sampaikan dalam sebuah konferensi di Pulau Penang pada 2003 lalu[3]. Paparan yang saya sampaikan dalam forum ini, karenanya, sebagian besar masih mengacu kepada tulisan tersebut.

Penduduk imigran dalam kemajemukan masyarakat di Sumatera Utara

Kita seringkali terjebak oleh terminologi penduduk asli dan pendatang sehingga seakan-akan kita bisa dengan mudah mengkategorisasikan orang atau suatu kelompok tertentu sebagai bagian dari kita atau bukan. Dari perspektif sejarah peradaban manusia dan perpindahannya dari suatu tempat ke tempat lain dalam berbagai kurun waktu, yang lebih tepat barangkali adalah kategori pendatang awal dan pendatang kemudian. Memanng, sejarah peradaban manusia selalu dipenuhi oleh peristiwa perpindahan massif dari satu tempat ke tempat lain, baik yang berlangsung secara alamiah maupun karena terpaksa. Dengan perpindahan manusia yang massif tersebut terjadilah proses difusi kebudayaan, akulturasi dan assimilasi. Kisah-kisah kehadiran satu kaum di tengah-tengah kaum yang lain sebagai akibat dari gerak migrasi penduduk sudah lama menjadi perhatian dan bahan kajian kalangan ilmuwan sosial. Berkembangnya kota-kota besar dunia yang juga disesaki oleh migran dari pedesaan maupun dari luar negeri bahkan telah lama menjadi arena para ilmuwan, khususnya antropolog, untuk mempelajari proses-proses adaptasi kaum migran terhadap kehidupan di perkotaan, gejala etnisitas dan kelas-kelas sosial di kota, urbanisme, dan juga masalah-masalah kaum miskin di perkotaan (lihat George Gmelch & Walter P. Zerner, 1980).

Potret kemajemukan budaya karena adanya perpindahan penduduk secara massif tersebut dapat kita temukan salah satunya di kota Medan. Kota Medan, ibukota Propinsi Sumatera Utara, adalah sebuah kota yang tumbuh pesat sejak pertengahan abad ke-19 sebagai sebuah kota berpenduduk majemuk baik dari kalangan penduduk pribumi maupun imigran dari kawasan Asia seperti Cina, India, Arab dan imigran dari kawasan Asia Tenggara[4]. Gerak perpindahan kaum migran ke kota Medan tidak lepas dari tarikan magnit pertumbuhan kota ini sebagai sentra kemajuan ekonomi sehingga dijadikan sebagai tempat tujuan baru yang menjanjikan harapan untuk perbaikan hidup. Sudah luas diketahui bahwa kota Medan dan Tanah Deli (Sumatera Timur) pada umumnya yang pernah dijuluki sebagai “Het Dollar Land” berkembang sangat cepat sejak pertengahan abad ke-19 seiring dengan perkembangan industri perkebunan (mulanya perkebunan tembakau) yang dirintis oleh Jacobus Nienhys sejak 1863. Buruh-buruh dari Cina, India dan Pulau Jawa ketika itu didatangkan dalam jumlah besar oleh pengusaha-pengusaha perkebunan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Selain mereka yang didatangkan sebagai kuli, migran lain pun terus berdatangan ke kota ini untuk tujuan berdagang dan mengisi berbagai lowongan pekerjaan yang tersedia.

Fenomena kota Medan sebagai sebuah kota berpenduduk majemuk yang dihuni oleh migran lokal dan regional pernah menjadi bahan kajian antropolog Edward Bruner, yang antara lain memfokuskan kajiannya pada proses-proses adaptasi migran Batak Toba (lihat Bruner, 1961)[5]. Demikian juga antropolog Usman Pelly (1994) pernah melakukan kajian tentang proses urbanisasi dan adaptasi migran Minangkabau dan Mandailing di kota Medan, yang menurut beliau sangat ditentukan oleh misi budaya yang dimiliki oleh masing-masing kelompok etnik. Sementara itu, kajian-kajian tentang migran asing seperti orang Cina, India dan Arab yang juga telah sejak lama hidup di kota Medan sejauh ini belum banyak mendapat perhatian dari para ilmuwan. Khusus tentang orang India, memang sudah ada tulisan dari A. Mani (1980) yang berusaha memotret gambaran kaum migran India di Sumatera Utara, sebagai bagian dari tulisan yang dimuat dalam Indian Communities in Southeast Asia (K.S.Shandu & A. Mani, 1980).

Ketertarikan saya pada masalah migran asal India ini bermula dari pengamatan tentang fenomena adaptasi dengan penduduk pribumi yang relatif kontras antara migran India maupun Arab dengan migran asal Cina. Dalam pandangan kalangan awam, warga keturunan Cina di Medan cenderung eksklusif dan relatif kurang bergaul dengan penduduk pribumi, sementara orang Arab misalnya hampir melebur menjadi bagian yang nyaris sama dengan komunitas tempatan. Sementara itu, terhadap warga keturunan India pandangan dan streotip negatif tidak sekuat terhadap orang Cina, dan dalam pandangan kaum awam mereka lebih mampu beradaptasi dengan penduduk pribumi. Menarik juga untuk dicatat bahwa, orang-orang Cina yang pada awalnya datang ke Medan sebagai kuli perkebunan kemudian telah berkembang menjadi satu kelompok yang menguasai ekonomi, sementara migran keturunan India yang juga datang dalam kurun waktu yang sama dan untuk sebagian dengan status yang sama, tampaknya tidak memperlihatkan kemajuan penguasaan ekonomi semaju orang Cina. Tulisan ini tidak bermaksud memberikan jawaban terhadap perbedaan perkembangan yang dialami oleh migran keturunan Cina dan India di kota Medan, tetapi lebih fokus pada upaya pemotretan secara garis besar keberadaan komunitas India, khususnya orang Tamil di kota Medan.

Kedatangan Orang India di Sumatera Utara

Bahwa pengaruh kebudayaan India sangat kuat dalam kehidupan bangsa Indonesia sudah menjadi pengetahuan awam, dan proses penyerapan unsur-unsur budaya India oleh berbagai komunitas yang ada di negeri ini juga masih berlangsung hingga hari ini. Temuan-temuan arekologis di Sumatera maupun di Jawa mulai dari abad ke-7 M hingga abad ke-14 memperlihatkan kesinambungan kehadiran peradaban India di Kepulauan Nusantara (lihat Y.Subbarayalu, 2002a) Untuk konteks Sumatera Utara misalnya, kehadiran orang-orang India sudah terekam dalam sebuah prasasti bertarikh 1010 Saka atau 1088 M tentang perkumpulan pedagang Tamil di Barus yang ditemukan pada 1873 di situs Lobu Tua (Barus), sebuah kota purba di pinggir pantai Samudera Hindia. Prof. K.A. Nilakanta Sastri (1932) seperti dikutip dari tulisan Y. Subbarayalu (2002) menulis tentang prasasti itu sebagai berikut :

“ Fragmen prasasti dari Loboe Toewa berharga untuk dijadikan sebagai bukti yang jelas bahwa aktivitas perdagangan mereka (yaitu perkumpulan pedagang Tamil) telah menyebar ke Sumatera. Mungkin tidak tepat menyimpulkan berdasarkan prasasti itu bahwa bahasa Tamil telah digunakan dalam dokumen-dokumen umum di Pulau Sumatera pada abad ke-11 Masehi; namun jelas bahwa sekumpulan orang Tamil telah tinggal di Sumatera secara permanen atau semi permanen, dan termasuk di antaranya tukang-tukang yang mahir mengukir prasasti di atas batu..”

Keberadaan kaum pedagang Tamil pada abad ke-11 di pantai barat Sumatera, kemudian dikaitkan oleh sejumlah penulis dengan migrasi yang mereka lakukan ke arah pedalaman Sumatera karena terdesak oleh kekuatan armada pedagang-pedagang dari Arab/Mesir (Brahma Putro, 1979). Brahma Putro, seorang warga suku Karo yang menulis buku “Karo dari Jaman ke Jaman” (1979) menyebutkan bahwa orang-orang Tamil yang terdesak dari Barus kemudian terasimilasi dengan suku Karo yang tinggal di Dataran Tinggi Tanah Karo (pedalaman Sumatera), dan mereka inilah di kemudian hari yang menjadi keturunan marga (klen) Sembiring (Maha, Meliala, Brahmana, Depari), Sinulingga, Pandia, Colia, Capah, dsb. Secara fisik warga Karo dari kelompok klen tersebut memiliki persamaan dengan orang-orang Tamil.

Kehadiran orang Tamil juga bisa diidentifikasi di beberapa tempat lain di Sumatera, antara lain di Suruaso Sumatera Barat berdasarkan temuan batu bertulis (banda bapahek) dalam dua bahasa, salah satunya dalam bahasa India Selatan. Di bagian lain Sumatera, seperti kata Hasan Muarif Ambari (2008), kehadiran etnis Tamil di Nanggroe Aceh Darussalam sudah menyatu dengan masyarakat Aceh. Hanya fisiknya saja yang menunjukkan mereka berasal dari etnis Tamil, selebihnya mereka sudah menyatu sebagai warga Aceh tulen, berbahasa dan beradat-istiadat Aceh. Pada umumnya ‘sisa’ masyarakat Tamil, kata Ambari, tinggal di daerah Pidie dan Aceh Utara. Di daerah Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan, kehadiran mereka diduga kuat terjadi pada abad ke-13 atau 14 yang bisa diidentifikasikan dari keberadaan peninggalan candi di daerah Portibi, Saba Biara, bahkan yang tertua (diduga abad ke-9 masehi) di Simangambat. Peninggalan dalam bahasa juga masih bisa dikenali dengan mudah, seperti dalam istilah ‘naraco holing’, ‘banua holing’, ‘tumbaga holing’, ‘pijor koling’, dan lain sebagainya.

Tetapi kedatangan orang-orang India dalam jumlah besar dan hingga sekarang menetap dan membentuk suatu komunitas di berbagai bagian wilayah Sumatera timur dan khususnya Medan baru terjadi sejak pertengahan abad ke-19, yaitu sejak dibukanya industri perkebunan di Tanah Deli. Menurut catatan T. Lukman Sinar (2001) di dalam tahun 1874 sudah dibuka 22 perkebunan dengan memakai kuli bangsa Cina 4.476 orang, kuli Tamil 459 orang dan orang Jawa 316 orang. Perkembangan jumlah kuli semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya, yang terbanyak adalah kuli Cina (53.806 orang pada 1890 dan 58.516 orang pada 1900) dan kuli Jawa (14.847 orang pada 1890 dan 25.224 orang pada 1900); sementara kuli Tamil bertambah menjadi 2.460 orang pada 1890 dan 3.270 orang pada 1900.

Selain mereka yang didatangkan oleh perusahaan-perusaha an perkebunan sebagai kuli, migran orang Cina, India dan juga Arab mulai berdatangan ke Sumatera timur untuk berdagang dan menjadi pekerja di bidang-bidang lain. Migran dari India yang datang untuk berdagang antara lain adalah orang-orang dari India Selatan (Tamil Muslim) dan juga orang Bombay serta Punjabi. A. Mani (1980:58) menyebutkan bahwa di luar pekerja kontrak di perkebunan, orang-orang India yang lain juga banyak datang ke Medan untuk berpartisipasi memajukan berbagai sektor usaha yang sedang tumbuh di kota ini; seperti kaum Chettiars atau Chettis (yang berprofesi sebagai pembunga uang, pedagang dan pengusaha kecil); kaum Vellalars dan Mudaliars (kasta petani yang juga terlibat dalam usaha dagang); kaum Sikh dan orang-orang Uttar Pradesh. Selain itu juga terdapat orang-orang Sindi, Telegu, Bamen, Gujarati, Maratti (Maharasthra) , dll. Tetapi orang-orang Indonesia pada umumnya tak mengenali perbedaan mereka dan secara sederhana menyebutnya sebagai orang Keling dan orang Benggali saja.

Di masa kolonial, buruh-buruh Tamil yang bekerja di perkebunan biasanya dipekerjakan sebagai tukang angkat air, membetulkan parit dan jalan (Lukman Sinar, 2001; Mahyuddin et.al; tt); sementara orang-orang Punjabi yang beragama Sikh biasanya bekerja sebagai penjaga keamanan, pengawal di istana dan kantor-kantor, penjaga toko, dan lain-lain. Orang Sikh yang bekerja di perkebunan juga bertugas sebagai penjaga malam dan pengantar surat; juga memelihara ternak sapi untuk memproduksi susu (Mani, 1980:58).

Pada masa sekarang tidak diperoleh angka yang pasti mengenai jumlah warga keturunan India di kota Medan, karena sensus penduduk setelah tahun 1930 tidak lagi menggunakan kategori etnik. Menurut A. Mani (1980) pada tahun 1930 terdapat sekitar 5000 orang Sikh di Sumatera Utara. Sementara itu A. Mani (1980) memperkirakan bahwa jumlah orang Tamil di Sumatera Utara adalah sekitar 18.000 jiwa; namun ada juga yang menyebut sekitar 30.000 jiwa pada tahun 1986 (Napitupulu, 1992).

Karakteristik Sosial Budaya Komunitas Tamil

Pemukiman

Pada masa kolonial orang-orang Tamil bermukim di sekitar lokasi-lokasi perkebunan yang ada di sekitar kota Medan dan Sumatera Timur. Setelah masa kemerdekaan, mereka pada umumnya berdiam di sekitar kota, yang terbanyak di kota Medan, juga di Binjai, Lubuk Pakam dan Tebing Tinggi. Pemukiman mereka yang tertua di kota Medan terdapat di suatu tempat yang dulu dikenal dengan nama Kampung Madras, yaitu di kawasan bisnis Jl. Zainul Arifin (dulu bernama Jalan Calcutta). Kawasan ini lazim juga dikenal dengan sebutan Kampung Keling, dan sekarang sudah dikembalikan namanya menjadi Kampung Madras. Lokasi perkampungan mereka terletak di pinggiran Sungai Babura, sebuah sungai yang membelah kota Medan dan menjadi jalur utama transportasi di masa lampau. Di kawasan ini hingga sekarang masih mudah ditemukan situs-situs yang menandakan keberadaan orang Tamil, misalnya tempat ibadah umat Hindu Shri Mariamman Kuil (sebagai kuil terbesar) yang dibangun tahun 1884 dan sejumlah kuil lainnya; juga pemukiman dan mesjid yang dibangun oleh orang Tamil Muslim sejak tahun 1887.

Pada masa sekarang ini pemukiman orang Tamil sudah menyebar di sejumlah tempat di seluruh Medan dan sekitarnya, seperti diuraikan dalam tabel berikut.

Tabel Konsentrasi Pemukiman Orang Tamil di Medan dan Sekitranya

No

NAMA LOKASI

MAYORITAS AGAMA

RUMAH IBADAH

1 Jl. Teratai, Jl.Dr. Cipto Hindu, Buddha Kuil Shri Mariamman
2 Kesawan Hindu, Islam Dulu ada kuil, tapi sudah dipindahkan ke Kuil kaliaman sekarang (jl Taruma/Kediri)
3 “Pondok Seng” (Jl. T. Cik di Tiro) Sudah digusur kira-kira 10 thn lalu, dulunya Kristen, Buddha, Hindu Kuil Muniandi

Di Jl. Muara Takus

“dianggap dewa yang berlaku jahat”

4 Kebun Bunga Hindu, Islam Kuil Subramaniam (digunakan oleh kaum Chetty yg tinggal di Jl, Mesjid); juga ada mesjid org Tamil
5 Kampung Keling/Desa Madras Hulu Hindu Kuil Shri Mariamman; kuil Sikh,
6 Kampung Kubur Hindu, Islam, Buddha, Kristen Mesjid org Tamil

(South Indian Moslem Muslim)

7 Jl. Taruma/Kediri Hindu Kuil Kaliamman
8 Komplek Jl. Kang-kung /

Jl. Darat/ Jl. Abdullah Lubis

Orang Telenggu, agama Hindu, Buddha, Islam, Katolik Kuil Mariamman
9 Kampung Anggrung/Jl. Polonia/Gang A,B,C,D, E/ Jl. Mongonsidi/Jl. Karya Kasih Buddha Ada vihara, ada kuil, ada gereja Tamil Indonesia
10 Pantai Burung, Kampung Aur, Sukaraja, Kebun Sayur/dekat Kowilhan; Jl. Mangkubumi Hindu, Buddha, kristen, Islam Ada kuil Shri Mariamman
11 Jl. Pasundan, Jl. PWS, Sikambing, Jl. Sekip, Jl. Karya Sei Agul, Jl. Sei Sikambing Hindu, Buddha Ada kuil Guru Bakti, ada kuil Shri Mariamman
12 Kampung Durian/Medan timur Hindu Ada kuil Shri Mariamman
13 Jl. S. Parman/ G.Pasir, G. Sauh/ Jl. Hayam Wuruk, Pabrik Es (Jl. S.Parman/dkt St. Thomas) Buddha, Hindu, Kristen Kuil Shri Mariamman, ada vihara Buddha, ada mesjid, ada gereja (?)
14 Jl. Malaka, Jl. Gaharu, Jl. Serdang Hindu
15 Glugur, Jl. Bilal, Pulo Brayan/Lr 7, 21,22, 23, Sampali, Mabar Hindu, Buddha Kuil Shri Mariamman
16 Pasar III Pd Bulan, Jl. Sei Serayu Karang Sari Polonia, Tanjung Sari, Medan Sunggal Hindu, Buddha, Islam Ada kuil shri Mariamman
17 Desa Helvetia Hindu, Buddha, Kristen Katolik Kuil Shri Mariamman
18 Kampung Lalang, Diski Katolik, Hindu, Buddha, Islam Kuil Shri Mariamman
19 Kuala Bekala, Tuntungan/Pondok Keling (daerah kebun) Hindu Kuil Shri Mariamman
20 Binjai/Timbang Langkat Hindu, Buddha, Islam Kuil Shri Mariamman
21 Langkat/Padang Cermin (daerah kebun), Tj Beringin, Selesai (daerah kebun), Tanjung Jati (daerah kebun), Tanjung Pura Hindu, Islam Kuil Shri Mariamman
22 Lubuk Pakam, Batang Kuis Hindu, Buddha, Islam Kuil Subramaniam
23 Tebing Tinggi/Kampung Keling Hindu, Buddha, Islam Kuil shri Mariamman
24 Pertumbukan/ Deli Serdang Hindu, Islam
25 Kisaran/ Asahan Hindu

Sebuah laporan menyebutkan bahwa penduduk Tamil yang berjumlah kira-kira 30.000 jiwa di Medan dan sekitarnya, terbagi atas 66 % yang menganut agama Hindu, 28 % agama Buddha, 4,5 % beragama Katolik dan Kristen; dan 1,5 % yang beragama Islam (Napitupulu, 1992). Dalam sebuah wawancara dengan Pastor James Bharataputra (Juli 2003), pimpinan Graha Anne Maria Velankanni di Medan, disebutkan bahwa jumlah umat Tamil Katolik di kota Medan saat ini kira-kira 800 orang.

Mata Pencaharian Hidup

Di masa lalu pekerjaan orang-orang Tamil banyak diasosiasikan dengan pekerjaan kasar, seperti kuli perkebunan, kuli pembuat jalan, penarik kereta lembu, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang lebih mengandalkan otot. Hal ini terkait dengan latar belakang orang Tamil yang datang ke Medan, yaitu mereka yang berasal dari golongan dengan tingkat pendidikan yang rendah di India. Mereka inilah yang dipekerjakan di zaman kolonial sebagai kuli di perkebunan-perkebun an milik orang Eropa. Di masa sekarang keturunan mereka banyak yang bekerja sebagai karyawan swasta, buruh, dan juga sebagai sopir. Kalau di masa kolonial sebagian dari mereka menjadi penarik kereta lembu dan pembuat jalan, di masa kini keturunan mereka banyak yang sudah mengusahakan jasa transportasi angkutan barang dan juga menjadi pemborong pembangunan jalan. Keahlian mereka dalam kedua bidang pekerjaan ini banyak diakui orang.

Orang-orang Tamil yang datang secara mandiri ke Medan pada umumnya memiliki jenis mata pencaharian hidup sebagai pedagang. Di antaranya menjadi pedagang tekstil, dan pedagang rempah-rempah di pusat-pusat pasar di Medan. Selain itu mereka juga banyak yang bekerja sebagai supir angkutan barang, bekerja di toko-toko Cina, dan menyewakan alat-alat pesta. Selain itu banyak juga yang melakoni usaha sebagai penjual makanan, misalnya martabak Keling. Pada umumnya, mereka yang berjualan rempah-rempah, tekstil dan menjual makanan adalah orang-orang Tamil yang beragama Islam. Mereka adalah kaum Muslim migran yang datang dari India Selatan hampir bersamaan dengan kedatangan orang-orang India pada umumnya ke Medan pada pertengahan abad ke-19. Di masa sekarang juga sudah terdapat sejumlah orang Tamil yang sukses sebagai pengusaha di level daerah maupun nasional, seperti keluarga Marimutu Sinivasan.

Organisasi sosial dan keagamaan

Sejauh ini tidak ada organisasi yang dapat menghimpun warga Tamil dalam satu kesatuan. Mereka pada umumnya lebih terikat oleh kesatuan berdasarkan kesamaan agama, terutama di kalangan penganut Hindu, Buddha dan Katolik. Sementara mereka yang beragama Islam lebih cenderung melebur menjadi komunitas muslim dimana mereka bermukim. Penganut Hindu terhimpun dalam wadah kuil yang di kota Medan secara kultural menyatu dalam Perhimpunan Shri Mariamman Kuil. Shri Mariamman Kuil yang terletak di Kampung Madras dibangun pada tahun 1884, dan berfungsi sebagai “payung” bagi kuil-kuil lain yang terdapat di sejumlah tempat lain di kota Medan. Hampir di setiap pemukiman warga Tamil dibangun sebuah kuil, yang terbanyak menggunakan nama Shri Mariamman Kuil[6]. Kuil Shri Mariamman juga menghimpun pemuda-pemudi yang aktif di kuil dalam sebuah perhimpunan muda-mudi kuil.

Mereka yang beragama Buddha terhimpun dalam wadah vihara dan organisasi yang disebut Adi-Dravida Sabah; dan untuk kaum remaja ada organisasi bernama Muda-mudi Buddha Tamil. Kaum Buddhis Tamil juga memiliki sejumlah vihara sebagai tempat beribadah, diantaranya adalah Vihara Bodhi Gaya dan Vihara Lokasanti di Kampung Anggrung serta Vihara Ashoka di kawasan Polonia, dan sejumlah vihara di tempat-tempat lain. Kaum Buddhis Tamil secara kelembagaan menyatu dalam wadah Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan pusatnya adalah Vihara Borobudur.

Warga Tamil Katolik juga memiliki sebuah gereja Katolik yang dibangun pada tahun 1912, yang sebagian besar anggotanya juga tergolong Tamil Adi-Dravida. Tengku Lukman Sinar (2001:76) menyebutkan bahwa sejak tahun 1912 telah ada missionaris Katolik khusus untuk orang-orang India Tamil di Medan. Sebuah gereja lain dibangun pada tahun 1935 oleh pastor Reverend Father James (Sami, 1980:83). Warga Tamil Kristen dan Katolik bermukim di sebuah lokasi yang disebut Kampung Kristen. Menurut Mani (1980) sebagian besar mereka datang dari Malaya, Pondicherry dan Karaikal. Pastor James Bharataputra yang datang ke Indonesia tahun 1967 dan bertugas di Medan sejak 1972, pernah mendirikan sekolah khusus untuk orang-orang India Tamil yang miskin, bernama Lembaga Sosial dan Pendidikan Karya Dharma. Sekarang sekolah itu diambil alih oleh Yayasan Don Bosco, dan menjadi SD St. Thomas 56. Pastor James membeli sebidang tanah di kawasan Tanjung Selamat pada tahun 1979, yang semula direncanakannya untuk tempat pemukiman baru bagi orang-orang Tamil Katolik yang menumpang di sekitar Jl. Hayam Wuruk. Pada tahun 2001 beliau membangun sebuah Kapel untuk umat Tamil Katolik di atas tanah tersebut, yang diresmikan oleh Uskup Agung Medan (Mgr A.G.P. Datubara, OFM,Cap); dan di sebelah bangunan kapel berukuran kecil itu sekarang berdiri sebuah gedung yang bernama Graha Bunda Maria Annai Velangkanni.

Sementara itu, warga Tamil Muslim sejak 1887 sudah memiliki sebuah lembaga sosial yang bernama South Indian Moslem Foundation and Welfare Committee. Warga Tamil Muslim mendapat hibah dua bidang tanah dari Sultan Deli, untuk tempat membangun mesjid dan pekuburan bagi Tamil Muslim. Ada dua masjid yang dibangun oleh yayasan tersebut, satu terletak di Jalan Kejaksaan Kebun Bunga dan satu lagi di Jl. Zainul Arifin. Lokasi pekuburan terdapat di samping Masjid Ghaudiyah (Jl. Zainul Arifin). Tanah wakaf di lokasi Kebun Bunga cukup luas (sekitar 4000 meter) sedangkan lokasi Masjid Ghaudiyah sekitar 1000 meter persegi. Sebagian dari tanah wakaf yang di masjid Ghaudiyah dimanfaatkan untuk lokasi pembangunan ruko, terdiri dari 13 pintu, yang disewakan kepada orang lain dan uangnya digunakan untuk kemakmuran masjid dan menyantuni kaum Muslim Tamil yang miskin. Sampai sekarang yayasan yang menaungi masjid itu terus diurus oleh keturunan Tamil Muslim dan ketika penelitian lapangan tahun 2003 dilakukan masih dipimpin oleh Abu Bakkar Siddiq (45 thn) seorang pedagang dan dibantu oleh Kamaluddin (seorang pengusaha keramik). Sampai dengan tahun 1970-an, setiap tahun dilakukan perayaan hari besar keagamaan yang menghadirkan orang-orang Tamil Muslim di seluruh kota Medan, Tebing Tinggi hingga Pematang Siantar. Kesempatan itu sekaligus menjadi forum silaturahim bagi warga Tamil Muslim, namun perayaan demikian sudah tidak pernah lagi berlangsung belakangan ini.

Selain organisasi sosial yang berbasis keagamaan seperti disebutkan di atas, pada tahun 1960-an terdapat sejumlah organisasi yang bertujuan memprmosikan kebudayaan dan pendidikan Tamil; diantaranya adalah The Deli Hindu Sabah, Adi-Dravida Hindu Sabah, Khrisna Sabah, yang bergerak di bidang keagamaan, sosial dan aktivitas kebudayaan (Mani, 1980:63). Juga ada The Indian Boy Scout Movement, Indonesian Hindu Youth Organization, dan North Sumatera Welfare Association, dan lain-lain. Seorang tokoh Tamil yang kharismatis dan menggerakkan kemajuan bagi orang Tamil di kota Medan adalah D. Kumaraswamy. Pada masa sekarang ini hampir semua organisasi sosial tersebut tidak lagi aktif. Di masa sekarang kita bisa menemukan beberapa lembaga pendidikan yang dikelola oleh orang Tamil di Medan, antara lain adalah Perguruan Raksana, dan lembaga kursus bahasa Inggeris Harcourt International yang memiliki 5 cabang di kota Medan.

Orientasi sosial budaya

Menjadi bagian dari bangsa Indonesia merupakan satu pilihan yang secara sadar dijalankan oleh warga Tamil di Medan dan Sumatera Utara pada umumnya. Mereka teguh dalam soal ini, dan banyak di antara kaum tua orang Tamil yang juga ikut berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia, dan banyak pula di antara warga Tamil yang berstatus sebagai pegawai negeri. Tetapi sebuah keprihatinan muncul di kalangan generasi tua Tamil dewasa ini melihat kenyataan bahwa semakin lama mereka kehilangan identitas kebudayaan Tamil. Sebagian besar generasi muda tidak bisa lagi berbahasa Tamil, bahkan orang tua juga banyak yang tidak mampu lagi menggunakan bahasa itu di lingkungan keluarga. Pendeta Gurusamy, pimpinan Shri Mariamman Kuil, menyebutkan bahwa pelaksanaan peribadatan di kuil-kuil Hindu saat ini juga tidak lagi sepenuhnya dapat dilakukan menurut ketentuan penggunaan mantra-mantra yang berbahasa Tamil maupun Sanskerta. Sebuah upacara penyucian kuil (Kumbhabisegam) Shri Mariamman Kuil di Kampung Durian pada tanggal 13 Juli 2003 harus dipimpin oleh pendeta yang khusus diundang dari Malaysia.

Orientasi politik kaum Tamil di Medan di masa lampau adalah Golkar, namun di era reformasi dengan sistem multipartai sekarang ini mereka tidak lagi terpolarisasi ke suatu partai tertentu. Kaum muda Tamil banyak juga yang aktif di organisasi kepemudaan seperti Pemuda Pancasila, sehingga mereka semakin dalam terabsorbsi dengan lingkungan pergaulan dan kebudayaan komunitas pribumi.

Penutup

Perjalanan sejarah kehadiran komunitas Tamil di berbagai wilayah Sumatera di masa lampau menunjukkan bahwa arah orientasi social budaya mereka bergerak ke proses asimilasi dengan penduduk tempatan, seperti yang bisa ditemukan di Karo, Aceh, Sumatera Barat dan Mandailing Natal. Dalam kasus tersebut mereka melebur menjadi bagian integral dari etnik dan budaya komunitas tempatan, sehingga sulit untuk mengidentifikasi sosok kultural mereka kecuali hanya dari warisan penampilan fisik seperti dikemukakan oleh Hasan Muarif Ambari (2008).

Gejala yang sama juga terlihat kecenderunganya pada pendatang migrant Tamil kemudian, yaitu mereka yang berpindah ke Sumatera Utara pada abad ke-19 dan sesudahnya. Proses-proses adaptasi sosial budaya komunitas Tamil di Medan khususnya berlangsung lebih intensif dengan komunitas-komunitas tempatan jika dibandingkan dengan orang-orang Punjab. Kenyataan bahwa orang-orang Tamil telah terfragmentasi berdasarkan agama, membuat mereka lebih terbuka untuk berubah, sehingga identitas ke-Tamil-an mereka berangsur-angsur hilang. Bahkan kalangan Tamil Muslim sudah mengidentifikasi diri ke dalam komunitas yang dia masuki, dan kesatuan sebagai sesama agama menjadi lebih kuat dibandingkan dengan kesatuan sebagai sesama warga etnik Tamil.

Dalam era demokratisasi dan globalisasi dewasa ini, pilihan-pilihan baru tentu terbuka bagi warga masyarakat Tamil di Sumatera Utara, apakah mereka akan mengikuti proses historis seperti yang terjadi di masa lalu, yaitu secara perlahan melebur ke dalam kebudayaan yang dominan di suatu negeri, atau kembali menumbuhkan kesadaran identitas mereka sebagai sebuah komunitas sendiri dengan corak kebudayaan yang khas seperti yang mereka wariskan dari leluhur mereka. Dengan penguatan paham multikulturalisme, dimana prinsip kesetaraan, penghargaan, pengakuan dan penghormatan atas hak-hak kultural semua kelompok etnik dan budaya yang berbeda harus diutamakan, maka pilihan untuk menguatkan kembali identitas ke-Tamilan- juga bukanlah sesuatu yang tabu. Dengan prinsip multikulturalisme, kita memandang keanekaragaman suku dan kebudayaan sungguh-sungguh sebagai sebuah mozaik indah yang membangun ke-Indonesia- an, dan di sanalah hakikat Bhinneka Tunggal Ika terwujud. ***

BAHAN BACAAN :

Brahmaputro,

1979 Karo dari jaman ke Jaman; tanpa penerbit

BWS;

2001 Kampung Madras, Sebuah Potret Komunitas India di Medan; naskah buku

Gmelch, George & Walter P. Zerner,

1980 Urban Life : Readings in Urban Anthropology; State University of New York.

Mani, A.

1980 Indian in North Sumatera; dalam K.S. Sandhu & A. Mani “Indian Communities in Southeast Asia; Times Academic Press”. Hal 46.

Napitupulu, Burju Martua

1992 Eksistensi Masyarakat Tamil di Kota Medan: Suatu tinjauan historis; skripsi sarjana sejarah FS USU.

Pelly, Usman

1994 Urbanisasi dan Adaptasi : Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Penerbit LP3ES; Jakarta.

Saifuddin Mahyudin, dkk

Biografi D. Kumarasamy; Naskah belum diterbitkan.

Sandhu K.S. & A. Mani (editors)

1981 Indian Communities in Southeast Asia; Times Academic Press

Sinar, Tengku Lukman,

2002 Sejarah Medan Tempo Doeloe; Cetakan kedelapan; tanpa penerbit

Y. Subbarayalu,

2003 Prasasti Perkumpulan Pedagang Tamil di Barus; Suatu Peninjauan Kembali; dalam Claude Guillot (2002) “Lobu Tua Sejarah Awal Barus”; Yayasan Obor Indonesia dan Pusat Penelitian Arkeologi & Association Archipel.


[1] Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Kebudayaan Etnis India Tamil di Sumatera Utara; diselenggarakan oleh Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan (PUSSIS-UNIMED) di Medan, 28 Mei 2009.

[2] Penulis saat ini mengemban amanah sebagai Ketua Departemen Antropologi Fisip USU

[3] Makalah disampaikan pada “Shared Histories Conference”, Penang, Malaysia, 30 July 2003-3 August 2003, organized by Penang Heritage Trust, sponsored by SEASREP

[4] Lalu lintas perpindahan manusia itu juga berlangsung dari arah sebaliknya meskipun dalam jumlah yang relatif kecil, misalnya terlihat dari arus migrasi orang Minangkabau dan Mandailing dari Sumatera ke Semenanjung Malaysia pada pertengahan abad ke-19, maupun migrasi orang-orang dari Pulau Jawa dan sekitarnya di abad ke-20.

[5] Dalam salah satu tulisannya Edward Bruner menguraikan bahwa kota Medan tidak memiliki satu kebudayaan yang dominan sebagai rujukan adaptasi bagi kelompok-kelompok etnik yang ada di sana; berbeda dengan kota Bandung misalnya dimana kebudayaan Sunda menjadi kebudayaan yang dominan. Ketiadaan kebudayaan yang dominan di kota Medan menjadikan berbagai kelompok etnik yang ada dapat mengekspresikan kebudayaannya secara lebih bebas.

[6] Salah satu kuil yang juga sudah tergolong tua adalah Kuil Thandayuthapani, yang didirikan oleh kaum Chettiar pada tahun 1918. Menurut A. Mani (1980:77) kaum Chettiars, atau disebut juga Nattukotai Naharathars, merupakan sebuah kasta khusus di salah satu distrik di Tamil Nadu. Mereka datang ke Medan seiring dengan kedatangan buruh Tamil ke perkebunan-perkebun an, dan mereka berdagang dan meminjamkan uang kepada orang-orang Tamil maupun penduduk pribumi. Di kalangan warga Medan, mereka ini lazim dikenal dengan sebutan Chetti-chetti.

Dipostkan oleh:

Erond L. Damanik, M.Si.

Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial

Lembaga Penelitian-Universi tas Negeri Medan

No comments:

Followers

Related Posts with Thumbnails