Monday, December 21, 2009

ARTIKEL : Berkah-Berkah Mesir Yang Terlupakan

Oleh: Dede Permana Nugraha, MA

Konon, dulu Gus Dur pernah berkata, “Sewaktu saya di Mesir, saya lebih banyak dicerdaskan oleh Mesir-nya, bukan hanya oleh Al Azhar saja..” Ketika masih di Tanah Air, saya bertanya-tanya, apa gerangan yang dimaksud oleh ucapan Gus Dur ini. Maklum, saat itu saya belum bisa membayangkan, seperti apakah Mesir itu. Tetapi, kini, setelah tiga tahun berlalu, saya sangat meyakini kebenaran ungkapan ini.

Khazanah peradaban masa lalu memang telah mengangkat Mesir ke pentas sejarah dunia. Kekayaan budaya dan warisan sejarah yang ada, membuat Mesir menjadi luar biasa. Tak heran jika orang Mesir amat membanggakan negerinya dengan julukan Ummu al-Hadlarah, Ardu al-Anbiya atau Ardu-al Kinanah. “Hampir tak ada sejengkal tanah-pun di negeri ini yang tidak mengandung nilai sejarah”, kata seorang sejarawan dalam koran yang pernah saya baca. Lagi-lagi, saya baru bisa menyadari kebenaran ucapannya belakangan ini saja. Betapa memang negeri ini sarat warisan purba beberapa peradaban besar yang pernah berjaya ; sejak dari era Mesir Kuno, Romawi, hingga Islam.

Banyak bukti peninggalannya yang masih bisa kita saksikan sekarang. Tengok saja Musium Nasional Mesir di Tahrir itu ; beragam harta benda warisan Firaun tersimpan rapi. Raga sang Ramses II pun masih nampak wujudnya meski berbentuk mummi. Di Giza sana, tiga piramid Giza masih berdiri tegar ; di kawasan Old Cairo, deretan mesjid-mesjid tua dan kuburan para ahlul bait selalu menarik perhatian para turis.

Bagi kita para mahasiswa di Mesir, upaya menelusuri situs-situs sejarah itu akan membuahkan manfaat yang tiada terkira. Seorang kawan dekat rajin mengunjungi mesjid-mesjid tua peninggalan Dinasti Fathimiyyah. Sejak dari mesjid Al Azhar, Husein, Sayida Zenab, Ahmad Thulun, Syafii, hingga Amr bin Ash. Makam-makam para ulama besar dan keluarga Nabi pun ia ziarahi. Termasuk kuburan belasan ahlul bait di belakang mesjid Abbas al-Mursi di Iskandariah itu. Sang kawan bukan hanya tahu lokasi-lokasinya, tetapi juga hafal sejarah setiap situs itu. Saking seringnya berziarah, ia dikenal baik oleh bawwab mesjid-mesjid itu. Jika kebetulan ada tamu pejabat atau turis dari Jakarta, sang kawan selalu sibuk menjadi guide. “Uang sakunya khan lumayan, bisa buat beli buku”, tuturnya sumringah.

Bagi para adventurer alias petualang, kunjungan ke lokasi-lokasi ini jelas membuahkan pengalaman amat berharga. Setidaknya untuk kepuasan intelektual, dan bahkan spiritual. Saya sendiri, hingga sekarang kadang menyempatkan waktu untuk shalat Jumat di mesjid-mesjid tua di kawasan Old Cairo itu. Dari satu aktivitas ini saja, saya sering menemukan pengalaman baru dan menarik seputar pola beragama orang Mesir yang lekat dengan nuansa mistik itu. Ya setidaknya untuk bahan cerita kepada kawan-kawan di Tanah Air kelak. Di mesjid Husen misalnya, saya selalu menyaksikan aktifitas dzikir beberapa kelompok tarekat setiap usai Jumat. Macam-macam gayanya ; ada kelompok yang berdzikir sambil berdiri melingkar, dengan tubuh bergoyang-goyang dan mata terpejam. Ada juga kelompok tarekat yang berdzikir sambil duduk. Masih di Husein, saya juga sering menyaksikan isak tangis para peziarah makam sang Imam. Mukanya menyiratkan gairah spiritual yang ekspresif. Di Mesjid Sayyida Zenab, setiap Jumat ada tempat khusus bagi jemaah yang tuna rungu dan tuna wicara. Seorang jemaah selalu setia menerjemahkan khutbah –dan bahkan adzan – ke dalam bahasa isyarat. Menyaksikan pemandangan ini, saya sering terkagum-kagum dibuatnya. Subhanallah.

Khusus tentang gerakan tarekat sufi, Mesir memang gudangnya. Setahu saya, ada hampir dua puluh gerakan tarekat bermarkas di negeri ini, semuanya memiliki mesjid sendiri-sendiri. Seminggu sekali mereka mengadakan kegiatan pengajian dan dzikir. Hari-hari besar keagamaan di Mesir, selalu dimeriahkan dengan aneka aktifitas yang melibatkan para darwisy ini. Setiap Dua Belas Rabiul Awwal, puluhan ribu jemaah tarekat seantero Mesir berkumpul di Husein untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad saw.

Seorang kawan yang lain memiliki hobi berbeda. Ia tak suka jalan-jalan ; waktunya lebih sering dilewatkan di rumah. Tetapi ia rajin membaca koran dan majalah Mesir. Salah satu pojokan kamarnya yang sempit, dipenuhi kliping koran. “Dari sini saya bisa belajar tentang wacana-wacana keagamaan yang tidak ada dalam muqarrar”, tuturnya. Saya juga kagum dengan aktifitasnya. Ia hafal betul persoalan-persoalan keagamaan yang pernah menjadi polemik di kalangan ulama al-Azhar. Terlebih yang melibatkan pribadi Sayyed Thantawi, Grand Syekh al-Azhar. “Thantawi itu sosok yang menarik” komentarnya lagi. Thantawi, menurut sang kawan, adalah sosok yang sangat berani menentang arus. “Ia sering mengalami dilema”, tambahnya mantap. Kesimpulannya ini mungkin didasari oleh beberapa fatwa terakhir Thantawi yang memang kontraversial, semisal fatwa bunga bank dan fatwa jilbab Perancis. Hingga lantaran fatwanya itu, Thantawi dikecam habis-habisan oleh publiknya sendiri ; sesama ulama al-Azhar.

Keaktifan sang kawan dalam mengikuti wacana kegamaan di sekitar al-Azhar lewat media massa, telah memperkaya wawasannya. Pengetahuannya tak hanya terbatas pada konsep-konsep teoritis yang ada dalam buku-buku pegangan kuliah, tetapi juga ditopang oleh data-data empirik lapangan yang tidak ditemui di bangku kuliah. Secara gradual, nalarnya akan tercerahkan akibat keakrabannya dengan polemik-polemik keagaman pada masyarakat modern.

Kawan sekamar saya di Qutomiyah dulu punya tradisi lain lagi. Ia juga tak suka jalan-jalan menyusuri situs-situs sejarah atau mesjid-mesjid tarekat, serta jarang beli koran Mesir. “Kertas koran itu cepet rusak”, tuturnya enteng. Tetapi kalo diajak bicara soal buku atau toko buku, dia-lah jagonya. Kamarnya dipadati koleksi buku-buku agama. “Toko buku mana di Kairo yang belum saya kunjungi”, tuturnya bangga. Saya sih percaya-percaya saja. Toh kalau saya perlu buku, saya biasa bertanya kepadanya, tentang alamat maktabah yang memiliki koleksi buku dimaksud. Dan sang kawan tak hanya hafal lokasi toko-toko buku, tetapi ia juga tahu lorong-lorong azbakiya di seantero Kairo. “Saya malah kenal baik dengan para pedagang azbakiya Ataba”, kata dia lagi.

Begitulah, sang kawan sekamar ini sangat menyadari betapa Kairo adalah surga buku. Bersahabat dengan buku, berarti juga bersahabat dengan ilmu. Sedangkan kawan yang rajin baca koran tadi, nampaknya faham betul bahwa wacana yang berkembang dalam polemik-polemik di kalangan para ulama Al Azhar tadi, laksana mutiara mutu manikam yang berserakan. Begitu juga dengan kawan yang gemar bertualang menelusuri lorong-lorong mesjid gerakan tarekat atau situs-situs warisan Firaun, ia merasakan banyak berkah dari aktifitasnya itu. Baik berkah intelektual, juga berkah spiritual.

Mesir memang sarat dengan ‘berkah’. Pantas Gus Dur -lewat komentarnya tadi - merasa telah dicerdaskan oleh alam raya negeri Piramid ini. Hal yang sama seharusnya kita rasakan juga, agar hari-hari ini tak berlalu begitu saja, melainkan sarat dengan aktivitas-aktivitas positif. Jangan sebaliknya ; kita tidak menyadari adanya berkah-berkah yang berserakan di Mesir. Ya, Mesir, negeri yang kita tinggali sekarang.[]

*Penulis adalah lulusan master Universitas di Tunisia.

No comments:

Followers

Related Posts with Thumbnails