Ilmu kedokteran dalam islam telah muncul dan berkembang secara turun temurun, pada zaman Turki Usmani para dokter sepakat untuk bersama-sama menyusun kode etik kedokteran. (SuaraMedia News)
Dunia kedokteran Islam mengalami masa kejayaannya hingga era kekhalifahan Turki Usmani. Pada masa ini, dalam menjalankan tugasnya, para dokter juga diatur oleh sebuah etika kedokteran yang sangat ketat. Menurut Akdeniz (Sari) N dalam karyanya Osmanlilarda Hekim ve Hekimlik Ahlaki (Dokter Ottoman dan Etika Kedokteran), kode etik merupakan panduan bagi para dokter dalam menjalankan tugasnya.
''Setiap dokter harus mematuhi etika kedokteran dalam setiap tindakannya,'' tutur Akdeniz. Menurut dia, secara garis besar ada empat hal yang harus dipegang teguh seorang dokter di era kekhalifahan Turki Usmani, yakni; kesederhanaan/ kesopanan, kepuasan, harapan dan kesetiaan. Seorang dokter yang baik, papar Akdeniz, akan mematuhi keempat aturan dalam menjalankan praktiknya.
Para dokter di zaman Turki Usmani bersama-sama menyusun kode etik kedokteran. Mereka mengusulkan apa yang harus dilakukan serta yang tak boleh dilakukan dalam menjalankan praktik medis. Menurut Akdeniz, berdasarkan catatan para dokter di zaman itu, etika kedokteran mengatur perilaku dokter saat berinteraksi dengan pasiennya.
Elemen moral seorang dokter menjadi hal utama yang diatur dalam etika kedokteran pada masa Turki Usmani. Menurut Prof Nil Sari, di zaman modern ini telah terjadi perubahan yang begitu besar, akibat pesatnya perkembangan pengetahuan dan teknologi medis. Akibatnya, kata Prof Nil Sari, nilai-nilai moral dipegang teguh para dokter dahulu mulai terkikis dan tergantikan dengan nilai-nilai baru.
"Kebaikan telah mengalami kemunduran,'' papar Prof Nil Sari dalam karyanya bertajuk "Tip Deontolojisi". Akdeniz menambahkan, pada era kekhalifahan Turki Usmani, etika kedokteran dibuat untuk menjaga agar moralitas dan tingkah laku seorang dokter tetap terjaga.
Menurut Akdeniz, kesederhanaan, kepuasan, kesetiaan dan harapan merupakan empat hal penting yang harus dipegang teguh seorang dokter dalam berhubungan dengan pasiennya di era kekhalifahan Turki Usmani. Sayangnya, kata Akdeniz, keempat hal yang sangat penting itu kerap diabaikan para dokter di era modern ini.
Pada abad ke-20 M, kemajuan besar telah dicapai di bidang studi etika medis. "Etika medis saat ini terkonsentrasi pada pemecahan pilihan moral sesuai dengan prinsip-prinsip etika dan peraturan," ungkap Beauchamp LT dalam karyanya Childress FJ: Principles of Biomedical Ethics.
Inilah empat etika kedokteran yang dijalankan para dokter di zaman kekuasaan kekhalifahan Turki Usmani.
Kesopanan/kesederha naan
Kesopanan merupakan nilai kebaikan tertinggi yang sangat berharga, karena tugas dokter telah ditentukan sebagai khalifah dari Allah SWT, yang dipercaya bisa menyembuhkan. Dokter Turki Usmani diharapkan mengetahui dirinya sebagai khalifah Tuhan yang bertugas dalam penyembuhan dan tidak menganggap dirinya sebagai seorang penyembuh nyata.
Kala itu, masyarakat percaya bahwa penyakit dan penyembuhan adalah kehendak Tuhan, dan menghaluskan nilai kesopanan. Masyarakat percaya bahwa seorang dokter hanya sarana dan penyembuh nyata adalah Allah. Tanpa kehendak hati-Nya, tidak ada obat yang dapat menyembuhkan. Untuk itu, haruslah mengembangkan kesopanan sebagai nilai kebaikan.
Banyak penulis bidang pengobatan Turki Usmani menganjurkan dokter untuk tidak bangga dan tidak percaya diri atas diri mereka. Menurut Akdeniz, dokter diasumsikan menyembuhkan pasien tidak harus menyombongkan diri. Hal itu tercantum dalam literatur medis di zaman Turki Usmani.
Akdeniz mengutip kisah seorang dokter bijak dan terkemuka di kekhalifahan Turki Usmani bernama Nidai. Dokter dari abad ke- 16 M itu, mencoba memberikan nasihat kepada rekan-rekannya, "Jangan katakan saya telah menyembuhkan pasien, sebab asumsi itu adalah dusta, Penderitaan dan obat berasal dari Pencipta, Dia lakukan apa yang jadi kehendak-Nya, Allah-lah yang berkendak," tutur Nidai.
Pesan yang sama juga dituturkan dokter Muslim lainnya Emir Celebi, "Dokter memahami dirinya menjadi rendah hati, tidak harus menghubungkan efek pengobatan dengan pengetahuan dan keterampilan. Ia tidak harus memahami dirinya untuk bisa, tidak boleh bangga kepada seni dan praktiknya, apapun dapat diambil dari tempatnya. Ia harus percaya bahwa kebaikan Allah akan selalu membantunya.''
''Seorang dokter tidak boleh bersikap bangga di samping pasien, bahkan ia harus berusaha untuk menolong dan menghibur pasien." papar Emir Celebi karyanya Enmuzec-i Tib. Makna kesopanan tecermin dari aspek-aspek lain dari perilaku seorang dokter yang baik. Kesopanan telah tercatat bermanfaat dalam pengembangan pengobatan.
Kepuasan
Prof Nil Sari dalam karyanya Osmanli Darussifalarina Tayin Edilecek Görevlilerde Aranan Nitelikler menjelaskan bahwa keadilan dan kesetaraan hak dalam penyembuhan medis merupakan norma etika penting dan nilai keadilan membantu perkembangan kepuasan sebagai kebaikan utama yang diharapkan dari dokter.
Akdeniz menambahkan, seorang dokter yang berambisi untuk mencari uang dalam pekerjaannya, maka akan jauh dari keadilan dan kebenaran, akibatnya pasien tidak hanya akan dirugikan atau dibahayakan, tetapi rasa percaya pada dokter dan pengobatan akan hilang. Hal ini juga tercatat di dalam manuskrip pengobatan Turki Usmani. Manuskrip itu juga menjelaskan masalah belas kasihan dokter terhadap pasien, dan dokter ini dianggap sebagai dokter yang dipercaya dengan baik.
Serafeddin Sabuncuoglu, seorang ahli bedah di abad ke 15 M, juga menyarankan agar seorang dokter tidak boleh mengobati penyakit untuk tujuan mendapatkan uang. "Jangan mencoba untuk melakukan penyembuhan pasien yang sia-sia. Ketika Anda dianggap baik, hati-hati dianggap tidak sopan, dianggap sangat gila uang. Tindakan murah hati akan melebihi kemuliaan dan ambisi Anda," tuturnya dalam Cerrahiyetul Haniye.
Dokter bernama Nidai, menjelaskan, seorang dokter harus bisa melawan imbalan uang yang ditawarkan kepadanya. "Jangan gemar uang, puaslah dengan apa yang menjadi hakmu. Jangan menggilai keberadaan yang sementara ini. Hati-hati mengamati tujuan Anda. Bertingkah laku sewajar nyalah, sehingga Anda tidak akan menderita," pesan Nidai kepada para dokter.
Abbas Vesim juga menuturkan bahwa seorang dokter harus melawan uang yang bukan haknya dengan alasan pengobatan. Ia mengajarkan seorang dokter agar melawan, tidak menjadi ambisius dan tekun mengumpulkan uang. "Ambisi terhadap harta benda dan uang akanmenurunkan penghormatan terhadap dokter dan tingkat kepercayaan pengobatannya," ujarnya menegaskan.
Kesetiaan dan Optimisme Cermin Perilaku Dokter Muslim
Kesetiaan merupakan nilai kebaikan yang harus dipegang teguh seorang dokter di zaman Kekhalifahan Turki Usmani dalam mengobati pasiennya. Seorang dokter harus melanjutkan pengobatan kepada pasiennya selama dia mampu. Meski perilaku pasien yang ditanganinya sangat menjengkelkan dan mengganggu, seorang dokter harus tetap berusaha mengobatinya dengan penuh kesetiaan.
“Inilah etika yang mengatur seorang dokter agar tidak meninggalkan pengobatan kepada pasiennya,'' papar jelas Akdeniz (Sari) N. Menurut dia, kesetiaan adalah bentuk tanggung jawab yang harus dijalankan seorang dokter.
Menurut dokter terkemuka di era kekhalifahan Turki Usmani, Vesim Abbas, menjelaskan aturan kesetiaan seorang dokter. Menurutnya, dokter harus membuka hati terhadap kelakuan buruk pasiennya. Dokter tidak boleh membalas dendam kepada pasien, meskipun pasien berkelakuan tidak sopan.
"Dokter harus mengabaikan tindakan tidak sopan pasien. Dokter tidak akan bereaksi terhadap perilaku buruk pasien, sebaliknya ia harus bertindak dalam rangka pengobatan dan keterampilannya, yang seharusnya ia tidak condong untuk menghentikan pengobatan, tidak merasa terhina, tetapi mencoba untuk melanjutkan perawatan. Kesabaran dari dokter yang efisien adalah salah satu cara untuk pengobatan," jelas Abbas Vesim.
Sebagai gantinya, pasien diharapkan bertanggung jawab untuk mencoba cara pengobatan, resep obat yang ditetapkan dokter. Pasien diharapkan bertindak sesuai dengan nasihat dari dokter untuk pengobatan, ini baik untuk dokter dan pasien.
"Tak mengindahkan nasihat dari dokter mungkin dapat merusak, baik untuk dokter dan pasien," ujar Siyahi, dokter di abad ke-16 M. "Beberapa pasien melakukan sebagian dari saran dokter, karenanya tidak dapat disembuhkan, malah menyalahkan dokter. Jangan melakukan dosa dengan mencampakkan kerja dokter," kata Siyahi Larendevi dalam karyanya Mecma'-i Tibb-i Siyahi.
Optimisme
Seorang dokter diharapkan merawat pasiennya secara jujur. Namun, seorang dokter tak boleh menyebabkan pasiennya mengalami keputusasaan. Ibnu Shareef, seorang dokter dari abad ke-15 M, mengajarkan kepada para dokter untuk mengmbangkan dan menumbuhkan rasa optimisme kepada pasiennya.
"Jika seorang bertanya kepada dokter, apakah pasien itu akan mati dan kapan? Maka, dokter tidak boleh memberitahukan kepada pasien terkait kematiannya, dokter tidak harus mengatakan bahwa pasien akan mati hari ini atau besok," tutur Ibnu Shareef. Menurut dia, keputusan dokter untuk tak mengungkapkan hal itu akan sangat bermanfaat bagi pasiennya.
Sikap itu akan menumbuhkan optimisme bagi si pasien untuk sembuh. ''Kami merasakan banyak denyutan dari mereka. Hal itu menjadi pertanda kematian. Namun, mereka tidak mati, mereka kembali dan bangun. Jadi tidak tepat untuk memberi tahu keluarga dan teman-teman tentang kematian pasien, bahkan jika dokter itu hanya menduga.''
''Hanya Allah saja yang tahu kebenaran. Apapun penyakit yang mungkin, pasien harus dirawat dengan baik. Pasien harus jauh dari kegelisahan dan kesedihan dengan cara pengobatan apapun yang mungkin. Tolong lakukan dengan memotivasi dan dengan harapan bahkan dengan pemberian hadiah. Ia harus bergembira dengan teman dekatnya dan orang yang baik hati mengunjunginya. Jadi, pasien akan merasa bahagia dan semangat yang semakin meningkat," papar Ibnu Shareef dalam karyanya Yadigar.
Para dokter disarankan untuk tidak berbicara kepada pasien tentang kepastian prognosa penyakitnya. Haci Pasa, seorang dokter Muslim dari abad ke-15 M, dalam karyanya Kitabu'l Teshil fi't Tib, mengatakan, tidak benar mengekspresikan kebohongan bahwa pasien sudah tentu akan mati atau sembuh.
Abbas Vesim mengatakan hal serupa. Dokter, kata dia, seharusnya tidak mengatakan bahwa seorang pasien pasti akan terus hidup. Hati-hati mencatat periode pasti, berapa lama kira-kira sakit pasien. Ahmed bin Bali Fakih mengungkapkan, nasihat seirang dokter harus mendorong meningkatkan pasiennya, dengan memberinya harapan bahwa penyakitnya akan sembuh Begitulah para dokter Muslim di era Kekhalifahan memegang teguh etika kedokteran dalam menyembuhkan pasiennya.
Aturan berperilaku yang dikembangkan para dokter di zaman kejayaan Islam, penting kiranya dihidupkan kembali para dokter Muslim di era modern ini.(rpb) www.SuaraMedia. com
No comments:
Post a Comment