Bagi pecinta sequel James Bond, tentu tak asing dengan The Spy Who Loved Me. Film yang memasang Roger Moore dan Barbara Bach sebagai pemeran utamanya ini di-release tahun 1977. Salah satu daya tarik film ini, selain di ide cerita, juga terletak di pemilihan lokasi shooting. Film ini mengambil gambar di Pinewood Studios London, Porto Cervo Sardinia (Hotel Cala di Volpe), Malta, Scotland, Okinawa, Switzerland dan Mount Asgard di Baffin Island yang terletak di kawasan utara Canada.
Lokasi tersebut, tentu saja tak begitu akrab di telinga kita sebagai orang Muslim. Tapi ada fakta menarik terkait dengan film ini. Selain lokasi yang ‘asing’ tersebut, The Spy Who Loved Me juga menjadikan Mesir sebagai salah satu lokasi pengambilan gambar. Lokasi yang terpilih adalah Gayer-Anderson Museum; sebuah museum yang terletak berdampingan dengan masjid Ahmad Ibn Thulun. Dan juga masjid Ahmad Ibn Toulun sendiri. Kedua tempat ini terletak di sebuah kawasan yang kini lazim dikenal sebagai daerah Sayyeda Zeinab.
Film tersebut secara jernih memotret keindahan masjid Ahmad Ibn Thulun yang identik dengan menara besarnya. Dengan tajam, beberapa adegan dalam The Spy Who Loved Me menggambarkan lekuk keindahan konstruksi bangunan masjid Ahmad Ibn Thulun. Bagi yang punya hasrat travelling dan suka dengan bangunan-bangunan klasik, masjid Ahmad Ibn Thulun tentu merupakan salah satu alternatif tujuan berwisata sejarah.Sejarah Dinasti Thulunid (Thuluniyyin)
Sebagaimana riwayat yang disampaikan al-Maqrizi, masjid ini pembangunannya berada di bawah kepengawasan langsung Ahmad Ibn Thulun, seorang gubernur Mesir pada masa pemerintahan Abbasiyyah. Mencermati garis keturunannya, Ahmad ibn Thulun adalah anak dari seorang budak berkebangsaan Turki bernama Thulun yang masih berdarah Mongol. Nama Thulun sendiri dalam bahasa Turki bermakna “kemunculan yang sempurna”. Mulanya, Thulun menjadi budak bagi Nuh ibn Asad dan lantas dihadiahkan kepada Khalifah al-Ma’mun. Atau ada satu kisah yang menyatakan, jika Thulun tercatat pertama kali masuk ke Baghdad pada tahun 816 M.
Kemampuan militernya yang menonjol menjadikan Thulun terpilih sebagai anggota pasukan khusus pengawal Khalifah. Meski termasuk dalam jajaran pembesar militer, literatur sejarah tak pernah mencatat keterlibatan Thulun dalam peristiwa revolusi yang dilakukan oleh budak-budak berkebangsaan Turki (Mamalik) pasca meninggalnya al-Mu’tashim tahun 842 M.
Adapun Ahmad sendiri lahir pada bulan Ramadhan tahun 835 M. beberapa sumber sejarah bersilang pendapat dalam memastikan tempat lahir dan status Ahmad. Sebagian sejarawan klasik, semisal Ibn Khillikan menganggapnya lahir di Samarra. Sejarawan lain meyakini Baghdad merupakan tempat lahirnya Ahmad. Versi sejarah yang berbeda menaruh prasangka bahwa Ahmad hanyalah anak adopsi Thulun. Meski versi yang kuat mengimani benar jika Ahmad adalah anak kandung Thulun.
Tak lama selepas kelahiran Ahmad, Thulun meninggal dunia. Beberapa saat kemudian, ibunya yang menjanda disunting oleh Bagha al-Ashghar, salah satu panglima militer dinasti Abbasiyyah yang berasal dari daerah Turki. Pasca kematian Bagha al-Ashghar, ibunya menikah untuk yang ketiga kalinya dengan Bakbak (Bayik Bey), seorang pembesar militer yang menggantikan posisi Bagha al-Ashghar. Boleh dikatakan, Ahmad ibn Thulun tumbuh besar dalam tradisi Turki dan didikan militer. Selain aktif dalam dunia militer, Ahmad ibn Thulun juga menaruh keinginan untuk belajar ilmu-ilmu agama. Tercatat, dia mempelajari fikih mazhab Hanafiyyah, hadits dan disiplin ilmu lainnya hingga akhirnya dia menikah dengan Khatun, puteri pamannya yang bernama Yarjukh.
Meski sudah berkeluarga, hasrat menuntut ilmu Ahmad ibn Thulun tak surut. Berkat bantuan salah satu menteri, dia memutuskan pindah dari Samarra ke Tharsus untuk menimba ilmu tentang fikih, tafsir dan yang lainnya. Kunjungan perdana Ahmad ibn Thulun ke Mesir terjadi pada tahun 868 M untuk menggantikan Bakbak (Bayik Bey) sebagai pejabat pemerintahan (gubernur) dinasti Abbasiyyah.
Masa awalnya sebagai gubernur ditandai adanya konflik dengan Ahmad ibn al-Mudabbir, pengumpul pajak resmi dinasti Abasiyyah. Ibn al-Mudabbir enggan melaporkan hasil pajak kepada Ahmad ibn Thulun. Melainkan lebih suka melapor langsung pada Khalifah di Baghdad. Kharisma Ahmad ibn Thulun sontak meningkat pasca keberhasilannya ‘menundukkan’ Ibn al-Mudabbir. Bahkan selepas mertuanya menjadi pembesar militer Abasiyyah di Baghdad, Ahmad ibn Thulun memiliki kekuasaan yang lebih besar. Ahmad ibn Thulun tak hanya mengontrol Cairo semata, namun juga punya kewenangan untuk mengontrol penuh kawasan Alexandria dan sekitarnya. Tak hanya itu, Ahmad ibn Thulun juga diberi kekuasaan untuk mempersiapkan tentara sebanyak 100.000 prajurit.
Pamornya kian meninggi setelah mampu memenangi konfrontasi dengan Gubernur Syam. Perlahan, dia tak lagi menyebut dirinya sebagai gubernur. Namun mendakunya sebagai pemegang kebijakan independen yang tak lagi memiliki kaitan hierarkis terhadap Abasiyyah. Dia mulai memasang gambar wajahnya di mata uang, mengangkat pembantu (menteri), kepolisian, bea dan cukai, istana, perdagangan, dan dinas intelijen. Atas keberaniannya ini, Ahmad ibn Thulun tercatat sebagai pendiri negara Islam pertama bernama dinasti Thuluniyyin di Cairo-Mesir.
Selepas melakukan pengepungan terhadap Tarsus tahun 883 M., Ahmad ibn Thulun kembali ke Mesir. Tahun 884 M., dia meninggal dan mewariskan jabatan kepemimpinan dinasti Thulun kepada anaknya yang bernama Khumarraweh. Sayangnya, gaya kepemimpinan Ahmad ibn Thulun yang kharismatik tak dijumpai pada kepribadian anaknya. Akibatnya, 904-905 M., dinasti Abasiyyah berhasil menjadikan kembali kawasan kepunyaan dinasti Thuluniyyah sebagai daerah ‘jajahannya’.
Peninggalan Dinasti Thulun
Ketika menginjakkan kakinya pertama kali di Cairo, Ahmad ibn Thulun merasa Fusthath sebagai ibu kota Mesir dan kawasan al-‘Askar sudah tak memadai lagi. Dia berinisiatif membuka dan mengembangkan satu kota baru sebagai ibu kota. Mengambil lokasi di arah timur laut dari ibu kota yang lama, Ahmad Ibn Thulun memilih kawasan bukit Gabal Yashkur sebagai lokasi ibu kota dinasti Thuluniyyin. Masyarakat saat itu menyebutnya sebagai daerah al-Qatha’i. Dinamakan al-Qatha’i karena Ahmad ibn Thulun membagi daerah itu ke dalam beberapa bagian (qathi’at) sesuai dengan kelas sosialnya. Di kawasan ini, Ahmad Ibn Thulun mendirikan kompleks istana yang menyatu dengan bangunan masjid. Masjid inilah yang kelak masyhur dengan nama masjid Ahmad ibn Thulun.
Dimulai tahun 876 M., pembangunan masjid Ahmad ibn Thulun baru selesai pada tahun 879 M. Terletak di kaki bukit bernama Gabal Yashkur; sebuah bukit yang diyakini masyarakat Mesir penuh berkah, masjid ini didesain dengan gaya arsitektur model Samarra dengan pola konstruksi yang lazim dipakai oleh dinasti Abbasiyyah. Nuansa Samarra akan kian terlihat bila kita menengok satu fakta bahwa arsitek masjid Ahmad ibn Thulun adalah orang Kristen dari Irak.
Tercatat, masjid dan kompleks sekitarnya ini beberapa kali mengalami renovasi. Renovasi pertama kali yang tercatat dalam sejarah adalah renovasi yang dilakukan oleh pihak dinasti Fathimiyyah tahun 1117. Bahkan renovasi terasa dahsyatnya karena sampai menggusur dan menghilangkan bentuk bangunan istana dinasti Thuluniyyah. Al-Maqrizi memberikan kesaksian, bangunan istana Ahmad ibn Thulun terdiri atas beberapa gerbang yang mempunyai nama tertentu dan memiliki fungsi yang tak sama. Misal, gerbang yang bernama Bab al-Maydan menjadi pintu masuk bagi para tentara, Bab al-Haram adalah pintu gerbang bagi kaum wanita, Bab al-Shalat menjadi akses penghubung ke masjid Ahmad Ibn Thulun, Bab al-Jabal sebagai gerbang ketika hendak menikmati suasana bukit Muqaththam. Ada juga Bab al-Saj, Bab al-Darmun dan Bab al-Sibagh.
Tahun 1296, area ini mengalami perombakan. Salah satu berkah dari perombakan kali ini, dalam sebuah versi, adalah dibangunnya menara yang menjulang tinggi yang terletak di ruwaq luar sisi Barat masjid. Menara masjid Ahmad ibn Thulun yang mengerucut dengan tangga memutari menara (spiral), dalam klaim sejarawan, membuktikan pengaruh kuat seni arsitektur Samarra. Sebab menara dengan model itu hanya terdapat di masjid Jami’ Samarra. Di tahun berikutnya, beberapa perbaikan terus berlanjut hingga tahun 2004 yang dilakukan oleh The Egyptian Supreme Council of Antiquities.
Masjid Jami’ Ibn Thulun yang berada tepat di pusat kawasan al-Qatha’i berbentuk segi empat dengan halaman terbuka yang sangat luas tepat di tengah. Di bagian halaman, terdapat bangunan berkubah yang menjadi tempat wudhu sekaligus penyedia air minum publik (sabil). Tiang masjid ini ketinggiannya mencapai 92 m, memiliki luas sekitar 8487 m2 dengan dikelilingi oleh ruwaq-ruwaq di keempat sisinya. Di antara tembok masjid dengan pagar kelilingnya, terdapat tiga ruwaq luar yang bernama al-ziyâdât. Alasan pembangunan al-ziyâdât adalah untuk mengantisipasi membludaknya jamaah.
Boleh dibilang, masjid Ahmad ibn Thulun ini adalah salah satu peninggalan orisinil terpenting peradaban Arab Islam di Mesir. Sebab bila dibandingkan dengan masjid Jami’ Amr ibn ‘Ash yang sudah banyak kehilangan identitasnya, masjid Ahmad ibn Thulun masih mempertahan bentuk awalnya sebagaimana dibangun dulu di bawah pengawasan langsung Ahmad ibn Thulun.
Sebagaimana paparan Sayyidah Isma’il Kasyif, selain masjid Ahmad ibn Thulun, setidaknya masih terdapat beberapa peninggalan dinasti Thuluniyyah. Meski relatif banyak, namun dapat dipastikan bahwa model dan karakter peninggalan dinasti Thuluniyyah tidak begitu mengalami perbedaan yang signifikan dengan peninggalan dinasti Abasiyyah. Peninggalan dinasti Thuluniyyah yang lain adalah situs arkeologis berupa saluran air (al-qanâthir) Ahmad ibn Thulun. Al-Qanathir Ahmad ibn Thulun ini terletak di arah tenggara kawasan al-Qatha’i. Secara fisik, konstruksi saluran air Ahmad ibn Thulun menyerupai saluran air yang yang ada di masa kerajaan Romawi. Para sejarawan Muslim menyebut saluran air tersebut dengan al-Siqâyah.
Warisan lain dari dinasti Thuluniyyah adalah al-Bimaristan atau al-Maristan. Al-Maristan merupakan nama bagi sebuah bangunan yang berfungsi sebagai klinik atau balai pengobatan umum bagi masyarakat (non militer dan budak) yang sakit. Dalam klinik ini, semua warga boleh memanfaatkan fasilitasnya tanpa melakukan pembedaan latar belakang suku dan agama. Selain memberikan pelayanan kesehatan cuma-cuma, al-Maristan juga memberikan kenyamanan layaknya rumah sakit modern. Pasien yang hendak dirawat di al-Maristan, disediakan seragam khusus dan mendapat perawatan intensif dari dokter tanpa dipungut biaya. Hanya sayang, bentuk fisik al-Maristan tak bisa dijumpai lagi.
Peninggalan dinasti Thuluniyyah lain yang tak kalah penting adalah masjid al-Tannur yang terletak di puncak bukit Muqaththam. Dengan membangun masjid ini, Ahmad ibn Thulun bermaksud mengantisipasi kepadatan jamaah di masjid Jami al-‘Askar. Masjid Jami’ al-‘Askar tak lagi mampu menampung jamaah yang mayoritas adalah prajurit dan sebagaian masyarakat umum.
Kiprah mulia Ahmad ibn Thulun tak hanya terhenti di situ. Beberapa proyek perbaikan dan renovasi terhadap peninggalan masa sebelumnya juga dia lakukan. Sejarah mencatat, dia menginstruksikan preservasi terhadap beberapa fasilitas publik. Seperti perawatan saluran air dan perbaikan menara di Alexandria. Dan sejarah juga akan mencatat, salah satu daya pikat Mesir dalam bentuk wisata religiusnya adalah karena jasa Ahmad ibn Thulun dengan dinasti Thuluniyyah- nya.[]
*Penulis Adalah Alumni Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Universitas Al-Azhar - Cairo.