Monday, June 15, 2009

INFO : Pengarang Feminis Melayu Abad Ke-18

Pengarang Feminis Melayu Abad Ke-18

Pengarang Feminis Melayu Abad Ke-18
Oleh : Ding Choo Ming
Judul Buku : Raja Aisyah Sulaiman:
Pengarang Ulung Wanita Melayu

Penulis : Ding Choo Ming
Penerbit : Universiti Kebangsaan Malaysia
Cetakan : I, 1999
Tebal : 215 halaman

Dunia kepenulisan di masyarakat Melayu pada abad ke-18 belum menitikberatkan nama, hak serta status pengarang. Kala itu, kepengarangan merupakan pekerjaan yang mirip seperti halnya tukang kayu yang bekerja berdasarkan permintaan pasar. Berdasarkan logikan tersebut, hasil karangan atau tulisan sebelum abad ke-19 “bukan karya” sipengarang, melainkan tulisan yang dibuat untuk memenuhi tugas yang diembannya. Oleh karenanya, sipengarang biasanya menyembunyikan identitas jati diri mereka.

Kondisi ini, secara implisit menunjukkan bahwa dunia kepenulisan pada zaman itu bukanlah sebuah proses kreatif untuk mengekspresikan kemampuan diri penulisnya, melainkan pemenuhan atas permintaan atau menuruti selera, contoh, dan arahan yang dikehendaki “sutradara”. Sang “sutradara”, dalam hal ini, biasanya adalah orang memiliki kekuasaan, misalnya raja. Oleh karenanya, nama penulis tidak pernah disebut dan selalu berada dalam misteri.

Penguasa feodal di masa lampau turut membentuk citra (image) pengarang yang diselimuti rahasia. Demikian halnya dengan hukum yang berlaku saat itu, hak cipta atas karangan pun belum diakui karena tradisi kepenulisan masih bertumpu pada kuasa sosial, ekonomi, dan politik. Teknologi percetakan yang minim, bentuk sistem kepemilikan yang komunal, serta belum berlakunya hak cipta, turut berperan penting dalam menyembunyikan identitas diri para pengarang.

Kebanyakan pengarang sastra pada saat itu hanya meninggalkan setitik identitas seperti “sahibul hikayat”, “empunya cerita”, “ar-rawi” dan lain sebagainya yang dapat digunakan secara bergantian oleh banyak pengarang (hlm. 40). Oleh karenanya, sebuah karangan tidak pernah diketahui siapa penulisnya. Bisa jadi penulisnya adalah tukang cerita, pawang, bidan, tabib, pujangga, atau bahkan ulama.

Pandangan yang berlaku saat itu ialah bahwa sebuah karya merupakan milik bersama. Para pengarang tidak menginginkan hasil karyanya dianggap sebagai milik sendiri, tetapi diserahkan kepada dan menjadi milik masyarakat. Masyarakat feodal yang bersifat komunal sedikit banyak juga berperan “menghambat” keberanian para pengarang untuk mengikutsertakan namanya (baca: menonjolkan diri).

Fungsi pengarang ditentukan oleh pandangan masyarakat yang menentukan jenis karya mana yang seharusnya mencantumkan nama pengarang dan mana yang tidak. Pada abad ke-17, hampir semua karya sastra di Aceh tidak mencantumkan nama pengarangnya (anonim), sedangkan tulisan yang bukan karya satra mencantumkan nama pengarangnya. Pencantuman nama pengarang pada karya-karya ilmiah dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa hanya karya ilmiah yang mencantumkan nama pengarangnya yang diterima oleh masyarakat Melayu saat itu. Prasyarat harus mencantumkan nama pengarang dalam karya-karya ilmiah menunjukkan bahwa hal-hal yang terkait dengan masalah agama merupakan perkara serius yang tidak boleh ditulis secara sembarangan dan tanpa tanggung jawab penulis.

Di tengah kondisi masyarakat komunal yang lebih berorientasi karya dibandingkan dengan kepentingan- kepentingan lainnya, Raja Aisyah Sulaiman melakukan pendobrakan terhadap tradisi tersebut dengan mencantumkan identitas pribadinya. Melalui Hikayat Syamsul Anwar yang diterbitkan pada tahun 1890, Raja Aisyah Sulaiman mengawali bentuk tulisan modern yang ekspresif dan individualistik.

Raja Aisyah Sulaiman merupakan pembaharu dibidang sastra yang mengawali defeodalisasi kepenulisan dengan gayanya yang unik nan eksentrik. Kala pengarang-pengarang lain merasa segan menonjolkan identitas diri mereka dalam tulisannya, Raja Asisyah Sulaiman justru menampakkan dan mengekspresikan dirinya dalam setiap karyanya. Hal itu terungkap dalam goresan penanya ketika mengakhiri Hikayat Syamsul Anuar dengan kalimat, ”selesailah hamba mengarang akan hikayat ini”. Kalimat itu bisa jadi belum pernah ditemukan dalam banyak karya sastra yang lain. Hanya Raja Asiyah Sulaimanlah yang mempelopori bentuk penulisan ekspresif semacam itu.

Lebih dari itu, bentuk pengungkapan diri Raja Aisyah Sulaiman juga ditemukan dalam tokoh yang ia ceritakan. Watak Affandi Hakim dalam Hikayat Syamsul Anwar disinyalir merupakan watak pribadi Raja Aisyah Sulaiman. Dalam Syair Khadamuddin, Raja Aisyah Sulaiman membayangkan dirinya sebagai Sabariah (hlm. 122). Sejak saat itulah gaya menulis para pengarang Melayu sedikit demi sedikit mulai bergeser menjadi bentuk yang lebih ekspresif dengan mencantumkan identitasnya. Kondisi itu juga didukung dengan mulai diakuinya hak cipta di awal abad ke-19 yang mempengaruhi perkembangan sosial masyarakat Melayu tradisional ke arah modern.

Isi tulisan pada masa itu juga mulai berubah. Karya sastra yang dulunya banyak berisi cerita-cerita dari balik tembok istana yang menceritakan kegemilangan kerajaan Melayu, kewibawaan raja dan sebagainya, mulai berubah menjadi cerita-cerita pergolakan budaya dan pemberontakan tradisi sebagaimana yang ditulis oleh Raja Aisyah Sulaiman. Tulisan-tulisan yang ditorehkannya justru melenceng dari pakemnya. Dalam Hikayat Syamsul Anwar, Raja Aisyah Sulaiman mengekspresikan ketidaksetujuannya akan perjodohan dan keterikatannya terhadap tradisi istana. Dengan meleburkan diri ke dalam tokoh “Affandi Hakim”, ia mengangankan kebebasan dengan melarikan diri dan hidup berkelana.

Diskriminasi terhadap wanita pada abad ke-18 begitu dirasakan dan disadari oleh Raja Asiyah Sulaiman. Beliau memahami bahwa diskriminasi itu berawal dari pandangan laki-laki yang mengacu pada pemahaman yang konvensional, dan bukannya pada kekurangan pada wanita itu sendiri. Pemikiran Raja Aisyah Sulaiman tersebut merupakan pemikiran yang radikal di masa itu. Oleh sebab itulah beliau menulis Hikayat Syamsul Anwar dengan motif mencari keadilan bagi pihak wanita dalam menegakkan haknya sebagai manusia yang bebas dan dipandang sederajat dengan laki-laki (hlm. 127).

Sebenarnya, jauh sebelum Hikayat Syamsul Anwar ditulis, terdapat beberapa karya sastra yang juga bernuansa feminis, misalnya Syair Siti Zubaidah Perang China. Sayangnya karya-karya sastra itu masih anonim sehingga baru Raja Aisyah Sulaimanlah yang dikenal sebagai seorang feminis abad ke-18, pendukung kemodernan, sekaligus pengarang wanita dalam kesusastraan Melayu yang mengobarkan semangat anti patriarkhi.

Keistimewaan Raja Aisyah Sulaiman dibandingkan dengan para pengarang yang lain adalah karena ia menggunakan penanya sebagai senjata untuk melawan dominasi tradisi patriarkhi. Ia tidak sekadar menceritakan berbagai kisah dunia wanita, kebajikannya, kepatuhan dan ketundukan mereka atas laki-laki sebagai bentuk ekspresi wanita tradisional, melainkan juga menyuarakan jerit batin kaum wanita yang menginginkan kebebasan. Selain itu, ia cukup berani mendobrak tradisi kepenulisan saat itu dengan mencantumkan nama dan mengungkapkan jati dirinya dalam setiap karyanya.

Yang menarik, kendatipun Raja Aisyah Sulaiman merupakan pengarang wanita dan feminis Melayu angkatan pertama, namanya tidak setenar RA. Kartini, feminis dari Jawa dan pelopor emansipasi dalam mendobrak tradisi patriarkhi. Bahkan, nama Raja Aisyah Sulaiman pun tidak disebut dalam buku Sejarah Perkembangan Sastra Melayu/Indonesia karangan R.O. Windstedt (1958) maupun Liaw York Fang (1991 dan 1993). Meski demikian, nama Raja Aisyah Sulaiman sebagai pengarang wanita Melayu pernah disebut oleh Za‘ba (1940) melalui penelusurannya terhadap empat karya kreatif beliau, di antaranya ialah Hikayat Syamsul Anwar, Syair Khadamuddin yang berhuruf Jawi, Hikayat Syariful Akhtar, serta Syair Seligi Tajam Bertimbal (hlm. 8).

Buku ini secara tidak langsung mengantarkan pembaca untuk memahami pergerakan feminisme Melayu abad ke-18, sekaligus memperkenalkan dunia kepenulisan dan perkembangan sastra di jaman itu. Kajiannya yang sangat luas mampu menenggelamkan pembaca dalam pergulatan pemikiran pengarang wanita yang sangat berani. Ditambah lagi, analisisnya yang mendalam sangat berguna dalam memahami sosok pengarang feminis Melayu dalam konteks emansipasi wanita. Selamat membaca!



(Nanum Sofia, Mahasiswi S2 Psikologi UGM)

No comments:

Followers

Related Posts with Thumbnails